Perkembangan ilmu pariwisata pada saat ini
telah menunjukan sesuatu yang baru sehingga layak di jadikan sebagai bahan
untuk di pelajari. Dalam dunia pariwisata banyak muncul ilmu-ilmu baru dalam
pengembanganya, salah satu contohnya adalah Atrocity Tourism. Atrocity tourism
merupakan suatu bentuk pengembangan pariwisata yang masih asing bagi kalangan
umum. Kata lain dari Atrocity Tourism adalah dark tourism atau dalam bahasa
Indonesia pariwisata gelap. Pengembangan pariwisata ini memiliki konsep yang
berbeda dengan pariwisata pada umumnya. Jika umumnya pariwisata adalah senang-senang,
namun dalam dark tourism ini bersifat sebaliknya. Kekejaman dan bencana yang
terjadi dalam kehidupan menjadi daya tarik
wisata.
Dark
tourism pada dasarnya menawarkan sebuah pariwisata pendidikan dan emosional
pengalaman, menyampaikan pesan penting terkait dengan mendapatkan pengetahuan
tentang peristiwa masa lalu (Lennon & Foley, 2000). Aspek Emosional
pendidikan pengalaman dark tourism kemungkinan akan dipengaruhi berbagai faktor
termasuk jenis interpretasi yang ada, keaslian tempat, dan media cakupan ( Kang
et.al, 2012). Pengembangan dark tourism sebenarnya lebih kearah pendidikan yang
bisa ditawarkan, namun, persepsi masyarakat pada umumnya menganggap bahwa dark
tourism tidak pantas di kembangkan sebagai daya tarik wisata karena pariwisata
tersebut tidak berkemanusiaan. Dapat lebih di jelaskan lagi bahwa dark tourism
bukanlah sesuatu yang tidak layak di jadikan pariwisata, hanya saja
pengembanganya yang bersifat kemanusiaan. Dalam hal ini unsur-unsur kemanusiaan
lebih di utamakan supaya dapat dengan mudah di terima oleh masyarakat.
Dalam pengembangan dark tourism
banyak penelitian-penelitian yang telah dilakukan, penelitian tersebut
menyoroti bahwa dark tourism sebenarnya memberikan pengalaman pariwisata yang
signifikan sedangkan dark tourism tersebut dapat memunculkan kecemasan baru dan
dilema terhadap etika (Hartmann, 2005). Ketika dalam mengembangkan dark tourism
terkendala oleh kecemasan dan etika yang tidak pantas, maka seharusnya unsur
pendidikan dan pengemasan suatu produk pariwisata harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang lebih bersifat membangun. Dengan cara-cara tersebut
kemungkinan dapat memberikan pemahaman yang lebih dapat dimengerti kepada
masyarakat luas pada umumya dan khususnya untuk masyarakat yang menjadi tujuan
pengembangan dark tourism.
Meningkatnya perhatian terhadap dark
tourism dalam beberapa tahun terakhir, mungkin bisa dibilang sebagai gejala
dari tren di kalangan akademis untuk mengidentifikasi bentuk spesifik
pariwisata, atau untuk membagi pariwisata menjadi produk niche dan pasar (Novelli 2005).
Dalam hal ini, Studi dark tourism dianggap hanya seorang akademisi yang
berusaha keras dalam mengembangkanya (Sharpley &Stone, 2003). Namun, tidak
menutup kemungkinan akan muncul pengusa-pengusaha yang memanfaatkan dark
tourism dalam bisnis pariwisata yang mengedepankan nilai-nilai sosial. Potensi
dalam mengembangkan dark tourism masih dalam tahap pembelajaran banyak dari
kalangan akademis menyimpulkan bahwa dalam pengembangan dark tourism masih pada
tahap penyampaian yang pantas atau berkemanusiaan kepada masyarakat luas.
No comments:
Post a Comment